Saya adalah bagian dari generasi gegar budaya. Setiap hari saya menonton
film Amerika, ingin jadi seperti pembuat film dari Korea, percaya bahwa
dialek Skotlandia adalah dialek terseksi di dunia, dan selalu menutup
hari dengan masturbasi sambil nonton film porno dari Jepang. Sementara
itu, film yang akan saya buat adalah film tentang wayang Jawa.
Saya adalah bagian dari generasi berpikiran dangkal. Kalau generasi
di atas saya diberkati dengan kata-kata bijaksana dari para pemikir
dunia -Ranciere, Badiou, Agamben, Zizek, dan sebagainya- saya adalah
bagian dari generasi yang lebih suka mengadopsi kata-kata petuah dari
twitter, dari dialog-dialog yang diucapkan karakter-karakter sitcom yang
mungkin ditulis oleh orang-orang yang mungkin tidak bisa
mempertanggungjawabkan hidup mereka sendiri.
Saya adalah bagian dari generasi bingung. Bukan karena sering dicap
tidak ingat akan akar budaya sendiri, atau kenapa saya lebih tertarik
pada sampah ketimbang seni. Tapi kenapa dunia seperti berjalan mundur.
Kenapa dunia semakin lama semakin mendekat ke konservatisme, fanatisme
agama, ras, geografi. Kenapa orang-orang semakin tidak bisa menerima
perbedaan. Kenapa para pejabat dan wakil rakyat kebanyakan diisi oleh
para the has-beens, the wash-outs, dan mereka yang mengikuti arah dari
mana datangnya uang. Kenapa negara tidak dijalankan oleh negarawan
melainkan oleh produk dari hasil tawar menawar politik.
Kita tidak lahir sebagai makhluk yang bertanya. Kita lahir sebagai
binatang yang menerima apa saja yang dilakukan kepada kita. Kita mulai
jadi manusia ketika kita mulai bertanya. Yang membuat kita bisa bertanya
adalah saat kita mulai bisa memproses informasi. Semakin banyak
informasi, semakin banyak pertanyaan yang dihasilkan oleh otak.
Pengajaran nilai-nilai tradisi dan agama sering tidak memberikan
jawaban, hanya perban sementara. Lebih buruk lagi, pengajaran
nilai-nilai tradisi dan agama sering memberikan janji-janji yang
menggiurkan hanya jika kita mau berhenti bertanya. Jika kita kembali
menjadi binatang.
Di luar strata yang terlihat permanen dan seperti selalu berputar kembali ke titik nol ini, berdiri lah seni.
Saya ingat pada tahun 1997, saat hidup saya diselamatkan oleh musik
dan tulisan orang-orang yang gelisah. Karya-karya mereka tidak
memberikan jawaban, tapi menghancurkan tembok yang memisahkan saya dari
kebebasan untuk berpikir. Informasi memberikan saya pilihan, seni
mengaktifkan otak saya untuk bisa membuat pilihan-pilihan dengan lebih
sadar. Atau bahkan membantu saya menemukan pertanyaan yang benar.
Seni yang berguna adalah seni yang jujur. Dan jika seni itu jujur,
dia tidak akan mencoba menggantikan posisi agama dan nilai-nilai tradisi
dengan memberikan jawaban sederhana. Jika seni itu jujur, dia tidak
akan berkontribusi pada kesempitan pikiran yang menjadi masalah dunia,
yang jadi masalah terbesar negara kita pada saat ini. Jika seni itu
jujur, dia akan memberikan yang dibutuhkan dunia: alat pendobrak
kesempitan pikiran yang selalu berusaha mendorong batas nilai-nilai.
Indonesia masih dipenuhi orang-orang yang lebih suka diberikan
konfirmasi bahwa apa yang selama ini diajarkan kepada mereka adalah
kebenaran mutlak. Sehingga banyak para oportunis yang mencari nafkah
dengan mengatasnamakan seni menjual relijiusitas murahan dan
nasionalisme sempit. Ini hanya membuat masyarakat semakin malas
berpikir, dan inovasi-inovasi yang membuat hidup lebih baik akan semakin
jarang muncul dari orang-orang Indonesia.
Ini adalah anti-seni yang membuat pikiran rakyat semakin sempit,
semakin tidak bisa menerima perbedaan. Yang akan tetap mendorong
timbulnya bentrokan-bentrokan.
Kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi telah
membuat munculnya lebih banyak seniman dan pemikir. Saat ini, semua
orang bisa menjadi seniman. Seni lukis, fotografi dan sinematografi,
tulisan, musik, dan lagu. Semua orang bisa dengan gampang
mempublikasikan karya mereka.
Saya beruntung lahir sebagai generasi yang mengalami dua fase di
negeri ini. Saya sudah bisa berpikir saat pemerintah masih represif
terhadap kebebasan menyiarkan dan mendapatkan informasi serta
berekspresi dalam seni. Saat ini, saya tidak percaya bahwa represi
pemerintah masih merupakan hambatan dalam berekspresi. Internet telah
membuat ini mungkin dilakukan dengan cara mengadopsi anonimitas.
Represi yang kini ada, justru adalah represi oleh rakyat. Rakyat yang
masih berpikiran sempit yang disebabkan oleh pengajaran agama yang
tidak tepat dan nasionalisme sempit yang ditanamkan oleh pemerintah
terdahulu dan para seniman anti-seni. Karena pemerintahan saat ini bukan
lah pemerintahan memiliki kapabilitas, mereka cenderung bersifat
reaktif. Mereka akan ikut represif jika rakyat represif untuk menjadi
populer.
Melawan represi yang dilakukan rakyat sendiri lebih sulit ketimbang
melawan represi yang dilakukan adalah pemerintah karena perlawanan tidak
bisa dilakukan seperti melawan musuh. Salah satu cara berekspresi seni
di kondisi ini adalah menyamarkan statement dalam bentuk karya yang
lebih populis. Entertainment with a mission. Tentu saja orang yang mau
berekspresi secara lebih eksplisit juga dibutuhkan karena keduanya
sama-sama mendorong batas sampai akhirnya kebebasan berpikir tidak lagi
jadi sesuatu yang dianggap berbahaya.
Seni dan informasi adalah rekanan yang paling bertanggung jawab untuk
percepatan kemampuan untuk berpikir terbuka. Saat ini, seniman dan
penyiar informasi mau tidak mau harus bisa menjadi aktivis untuk
perubahan ini. Tentu saja kita tidak bisa menghakimi mereka yang lebih
nyaman berekspresi dengan membuat keberjarakan dengan rakyat kebanyakan.
Tapi yang paling dibutuhkan saat ini adalah merangkul rakyat dan secara
menyenangkan membuka pikiran mereka.
(Dibacakan sebagai orasi budaya pada HUT Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Sumber: Blog Joko Anwar