Friday, 6 January 2012

Berita sandal jepit di indonesia sudah mendunia

Kasus sandal jepit di indonesia Mendunia .Indonesia memiliki simbol ketikdakadilan baru: sandal jepit. Begitulah berita-berita dari media asing. Aksi pengumpulan sandal jepit, baru atau lawas, pun mendunia.

Aneka judul menghiasi media massa asing, mulai media Singapura hingga AS. Ada yang memberi judul "Indonesians Protest With Flip-Flops", "Indonesians have new symbol for injustice: sandals", "Indonesia's Flip-Flop Revolution", "Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice", maupun "Indonesians fight injustice with sandals".

Koran Indonesia edisi Rabu (4/1/2012) juga tak kalah garang. Sejumlah koran menjadikan tebaran sandal jepit bekas di atas meja, yang dijepret dari ketinggian, sebagai foto utama di halaman satu.

Sandal jepit mendunia gara-gara kasus penganiyaan yang menimpa AAL, pelajar SMK berusia 15 tahun pada November 2010. Briptun Ahmad Rusdi yang indekos di Jl Zebra, Palu, geram karena sandalnya berulang kali hilang. Saat "diinterogasi" pada Mei 2011, AAL mengaku dia dan teman-temannya sebagai pencuri sandal-sandal itu. Saat "interogasi", AAL mengaku terjadi pemukulan.

Orangtua AAL tidak terima sehingga melaporkan Briptu Ahmad Rusdi ke Propam Polda Sulteng. Kasus ini juga bergulir ke pengadilan. Mabes Polri berdalih, orangtua AAL-lah yang justru ingin membawa kasus ini ke pengadilan sehingga mendudukkan AAL sebagai terdakwa.

Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan diancam 5 tahun penjara. Sementara itu, Polda Sulteng telah menghukum polisi penyaniaya AAL. Briptu Ahmad Rusdi dikenai sanksi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J Sipayang dihukum 21 hari.

Pemberitaan media tentang kasus ini menarik perhatian Budhi Kurniawan untuk membuka posko "seribu sandal jepit" sebagai solidaritas ketidakadilan yang menimpa AAL. Posko di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, ini saat ini telah menerima 600 pasang sandal jepit aneka ukuran.

Nenek Djubaidah yang berusia 60 tahun, bahkan rela menyewa Mikrolet untuk mengangkut 80 pasang sandal yang dikumpulkannya dari para tetangganya.

"Awalnya saya lihat kasus ini di televisi. Saya kasihan. Saya hanya minta keadilan bagi AAL karena sebagai polisi walau ada wewenang juga harus sadar diri. Kalau keluarga polisi yang seperti itu bagaimana? Apa dia tidak minta keadilan. Jadi jangan mentang-mentang orang kecil kan bisa panggil orang tuanya," kata Djubaidah yang mengenakan baju kebaya warna biru, Selasa (3/1).

Gara-gara masalah sandal yang tak seberapa mahal ini, Mabes Polri dibuat sibuk. Mereka menggelar jumpa pers hari Selasa kemarin. Bahkan Kapolri juga harus melayani pertanyaan wartawan tentang sandal jepit ini.

http://thousandfleur.files.wordpress.com/2009/12/sandal.jpg
Dan kini Berita Kasus Sandal Jepit Nongol di Washington Post
Di sela berita soal mulai panasnya politik Amerika Serikat menjelang pemilihan presiden, menyeruak berita yang 'menyegarkan', kasus pencurian sandal jepit di Indonesia. Dalam tulisannya, media sohor AS ini mengangkat sandal jepit yang mereka tulis sebagai 'simbol baru untuk frustrasi mereka akan keadilan'.

"Ini gila," kata Titis Anissa, seorang guru sekolah menengah di ibukota, Jakarta, yang dikutip sebagai narasumber dalam tulisan itu. Ia mencatat bahwa pejabat pemerintah yang jelas-jelas bersalah menjarah kas negara masih dibiarkan 'melenggang' jalan-jalan ke luar negeri. "Ini seorang anak, muda miskin mengambil sepasang sandal seharga $ 3? Cukup sudah!"

Media ini menuliskan kronologi pencurian sandal jepit yang dilakukan AAL sepulang dari sekolah di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, pada November lalu. Ia kemudian diinterogasi dan dipukuli oleh tiga petugas, dan dihadapkan pada hukuman hingga lima tahun penjara jika terbukti bersalah, hukuman yang sama yang diberikan kepada banyak teroris, pengedar narkoba, dan pemerkosa.

Pada bagian lain tulisan itu, media ini menyoroti perubahan politik Indonesia pasca-Suharto. Berbagai perubahan dilakukan, tulisnya, tetapi sistem peradilan tetap menjadi titik lemah.

featured-content