Kasus sandal jepit di indonesia Mendunia .Indonesia memiliki simbol
ketikdakadilan baru: sandal jepit. Begitulah berita-berita dari media
asing. Aksi pengumpulan sandal jepit, baru atau lawas, pun mendunia.
Aneka judul menghiasi media massa asing, mulai media Singapura hingga
AS. Ada yang memberi judul "Indonesians Protest With Flip-Flops",
"Indonesians have new symbol for injustice: sandals", "Indonesia's
Flip-Flop Revolution", "Indonesians dump flip-flops at police station in
symbol of frustration over uneven justice", maupun "Indonesians fight
injustice with sandals".
Koran Indonesia edisi Rabu (4/1/2012) juga tak kalah garang. Sejumlah
koran menjadikan tebaran sandal jepit bekas di atas meja, yang dijepret
dari ketinggian, sebagai foto utama di halaman satu.
Sandal jepit mendunia gara-gara kasus penganiyaan yang menimpa AAL,
pelajar SMK berusia 15 tahun pada November 2010. Briptun Ahmad Rusdi
yang indekos di Jl Zebra, Palu, geram karena sandalnya berulang kali
hilang. Saat "diinterogasi" pada Mei 2011, AAL mengaku dia dan
teman-temannya sebagai pencuri sandal-sandal itu. Saat "interogasi", AAL
mengaku terjadi pemukulan.
Orangtua AAL tidak terima sehingga melaporkan Briptu Ahmad Rusdi ke
Propam Polda Sulteng. Kasus ini juga bergulir ke pengadilan. Mabes Polri
berdalih, orangtua AAL-lah yang justru ingin membawa kasus ini ke
pengadilan sehingga mendudukkan AAL sebagai terdakwa.
Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana
sebagaimana pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan diancam 5 tahun
penjara. Sementara itu, Polda Sulteng telah menghukum polisi penyaniaya
AAL. Briptu Ahmad Rusdi dikenai sanksi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J
Sipayang dihukum 21 hari.
Pemberitaan media tentang kasus ini menarik perhatian Budhi Kurniawan
untuk membuka posko "seribu sandal jepit" sebagai solidaritas
ketidakadilan yang menimpa AAL. Posko di Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, ini saat ini
telah menerima 600 pasang sandal jepit aneka ukuran.
Nenek Djubaidah yang berusia 60 tahun, bahkan rela menyewa Mikrolet
untuk mengangkut 80 pasang sandal yang dikumpulkannya dari para
tetangganya.
"Awalnya saya lihat kasus ini di televisi. Saya kasihan. Saya hanya
minta keadilan bagi AAL karena sebagai polisi walau ada wewenang juga
harus sadar diri. Kalau keluarga polisi yang seperti itu bagaimana? Apa
dia tidak minta keadilan. Jadi jangan mentang-mentang orang kecil kan
bisa panggil orang tuanya," kata Djubaidah yang mengenakan baju kebaya
warna biru, Selasa (3/1).
Gara-gara masalah sandal yang tak seberapa mahal ini, Mabes Polri dibuat
sibuk. Mereka menggelar jumpa pers hari Selasa kemarin. Bahkan Kapolri
juga harus melayani pertanyaan wartawan tentang sandal jepit ini.
Dan kini Berita Kasus Sandal Jepit Nongol di Washington Post
Di sela berita soal mulai panasnya politik Amerika Serikat menjelang
pemilihan presiden, menyeruak berita yang 'menyegarkan', kasus pencurian
sandal jepit di Indonesia. Dalam tulisannya, media sohor AS ini
mengangkat sandal jepit yang mereka tulis sebagai 'simbol baru untuk
frustrasi mereka akan keadilan'.
"Ini gila," kata Titis Anissa, seorang guru sekolah menengah di ibukota,
Jakarta, yang dikutip sebagai narasumber dalam tulisan itu. Ia mencatat
bahwa pejabat pemerintah yang jelas-jelas bersalah menjarah kas negara
masih dibiarkan 'melenggang' jalan-jalan ke luar negeri. "Ini seorang
anak, muda miskin mengambil sepasang sandal seharga $ 3? Cukup sudah!"
Media ini menuliskan kronologi pencurian sandal jepit yang dilakukan AAL
sepulang dari sekolah di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, pada
November lalu. Ia kemudian diinterogasi dan dipukuli oleh tiga petugas,
dan dihadapkan pada hukuman hingga lima tahun penjara jika terbukti
bersalah, hukuman yang sama yang diberikan kepada banyak teroris,
pengedar narkoba, dan pemerkosa.
Pada bagian lain tulisan itu, media ini menyoroti perubahan politik
Indonesia pasca-Suharto. Berbagai perubahan dilakukan, tulisnya, tetapi
sistem peradilan tetap menjadi titik lemah.