Sunday, 27 November 2011

Keamanan Online Baru untuk Anak Mendesak

INILAH.COM, Jakarta - Gara-gara smartphone, jejaring sosial, tablet dan game online, keluarga menjadi mudah terhubung internet. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran baru.
Bukan tanpa alasan, sekolah-sekolah, perpustakaan dan organisasi nasional saat ini terus mHeadlineeluncurkan program untuk memuji kebaikan teknologi. Namun, dalam menyambut generasi baru hingga komunitas teknologi tinggi yang makin tumbuh, manusia secara tak sadar membuat kesalahan besar dengan tidak mempersiapkan anak dan dewasa untuk hidup dalam dunia nirkabel.


Menurut Consumer Reports, ada lebih dari 7,5 juta anak di bawah usia 13 menggunakan Facebook yang melanggar persyaratan penggunaan jejaring sosial itu. Lebih lanjut, menurut jurnal First Monday, lebih dari lima juta anak berusia di bawah 10 tahun dan banyak orangtua aktif membantu anak-anak berbohong mengenai usianya di layanan itu.
Menurut peneliti pasar NPD Group, lebih dari 91% anak kini menjadi pemain video game dan anak usia 2-5 tahun menjadi ‘target’ yang tumbuh dengan sangat cepat sejak 2009. Berkat smartphone dan tablet, hal ini menjadi tak terelakkan.
Penyedia keamanan online McAfee menyatakan, situs unduh musik, film, dan lainnya merupakan sumber utama paparan ancaman potensial bagi anak-anak masa kini. Pengawas ponsel Lookout mengklaim, pengguna Android 2,5 kali cenderung terserang malware.
Lebih parah lagi, Norton menegaskan, anak-anak menghabiskan lebih dari 1,6 jam sehari untuk online, 62% di antaranya memiliki pengalaman negatif dan hanya 45% orangtua menyadari hal ini. Di balik litani fakta angka yang menakutkan ini terdapat suatu kebenaran yang mengganggu sedang mengintai.
Sebagai sumber informasi yang menarik, sumber daya dan hubungan baru yang bisa ditawarkan Internet, para ahli berjuang mendefinisikan aturan perilaku yang tepat dan etiket dalam dunia yang menuntut konektivitas 24 jam tujuh hari seminggu.
Kemajuan teknologilah yang menjadi dalang di balik semua hal ini. Secepat revolusi baru di jejaring sosial, berbagi aplikasi multimedia dan layanan pelacakan lokasi, hampir tak ada waktu untuk mulai serius menentukan standar ini.
Menurut perusahaan nirlaba Common Sense Media, hanya ada sedikit konsolidasi bagi banyak orangtua di mana lebih dari setengah anak usia 5-8 tahun yang kini menggunakan perangkat berteknologi tinggi. Bahkan lebih parah pada mahasiswa, 78% di antaranya pernah mendapat SMS seksual, ungkap hasil studi University of Rhode Island.
Untungnya, masa depan masih tampak cerah. Banyak komunitas membuat program untuk menjaga orang dewasa yang tak bersalah dari orang asing yang secara tidak sengaja mengirim spam dengan gambar anak-anak mereka di Facebook dan kelompok pendukung lingkungan cyberbully.
Di masa di mana gaya hidup makin digital, beberapa aturan sederhana bisa membantu menghindarkan dari bahaya ini. Pertama dimulai dengan mendidik diri sendiri untuk hanya aktif menggunakan aplikasi, layanan baru, game, gadget dan tujuan online lain yang bisa digunakan untuk melakukan penelitian dan pengembangan.
Keterlibatan aktif lebih lanjut pada kegiatan anak akan memberi kesempatan untuk lebih menyatu dengan minat anak. Anda tak akan selalu setuju dengan pilihan yang ada atau menghargai saran yang ‘membantu’ untuk teman-teman bermain anak atau saudaranya yang lebih tua.
Tapi Anda berutang pada diri Anda sendiri dan anak-anak Anda untuk tetap menjaga pola pikir ingin tahu dan terbuka. Ini menjadi tindakan yang setidaknya bisa dilakukan saat ini. Tak hanya itu, orang tua bisa mengambil keuntungan dari alat yang sudah ada.
Beragam sumber daya bermanfaat termasuk sistem konten berperingkat, aplikasi pelacakan dan software seperti Net Nanny dan Web Watcher bisa membantu menyaring dan mengawasi Web serta hasil pencarian dan penggunaan anak di mana software ini sudah tersedia di semua platform.
Kemudian, berlakukan pembatasan, misalnya seperti meletakkan komputer, perangkat game dan perangkat berinternet lain di tempat yang mudah terlihat. Hal ini akan membuat orang tua bisa mudah mengawasi kegiatan anaknya dengan perangkat-perangkat tersebut.
Pisahkan kebenaran di dunia nyata dan virtual. Kebenaran dan identitas online jarang berjalan sejalan. Di Google+, Twitter atau Facebook, semua orang memainkan karakter. Tak peduli seberapa otentik teman dunia maya Anda, aturan berperilaku dan etiket berinteraksi dalam ruang publik juga harus dihormati seperti di dunia maya. [mdr]

featured-content