Seperti satu berita terbaru, Ahok mematok 40 trilyun dari pemasukan pajak. Ia menolak naik sedikit, bertahap, atau apapun istilah yang biasa dipakai birokrat atau politisi, apalagi ketika menyangkut pajak. Dengan tegas, beliau mau langsung maksimal. Langsung tancap gas! Dan hebatnya, beliau menegaskan bahwa ini sudah melalui perhitungan bahwa ’sesungguhnya penghasilan pajak DKI itu seharusnya besar’. (Silahkan simpulkan sendiri sejumlah kemungkinan makna di balik pernyataan ini).
Kita tahu bersama bahwa sebuah negara banyak ditopang oleh penghasilan negara dari sektor pajak. Boleh dibilang dalam konteks ini, negara dibentuk untuk memungut pajak. Ironisnya kita sering tidak jelas untuk apa saja pajak ini diperuntukkan. Padahal pajak dipungut justru untuk dikelola sedemikian sehingga publik mendapat manfaat sebesar-besarnya baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada cerita lain. Konsekuensinya, dalam tata berbangsa bernegara, etika dan akuntabilitas setiap kebijakan publik di setiap level birokrasi wajib merujuk dan bersandar pada konsep ‘para pembayar pajak’. Artinya, apakah para pembayar pajak mendapat keuntungan-keuntungan yang sepadan dengan bagaimana uang mereka dikelola dan didistribusikan? Artinya, pengambil keputusan harus bertanya ‘kalau aku menjadi para pembayar pajak, bagaimana aku bakal merespon kebijakan pemerintah ini?’. Para pembayar pajak — harusnya — adalah yang dipertuan!
Yang kerap terjadi justru moralisasi (bahkan dijadikan jargon religius!) kewajiban membayar pajak dan lupa atau sengaja lupa dengan kewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan pajak!
Ahok mainkan gayanya. Ia tidak bilang, orang beriman taat pajak. Ia tidak bilang, negara butuh bantuan anda sebagai warga negara yang sadar kewajiban. Ia menekankan, bahwa naik dari 21 ke 40 trilyun itu cool. Biasanya pejabat dan politisi bicara pajak dari sudut negatif, dari perspektif kurang, seperti target pajak kurang, tidak maksimal, banyak pengemplang, dan seterusnya. Ahok bicara dari perspektif positif, dari perspektif kelebihan, lewat kalkulasi dan demi transparansi publik. Dan kita tahu, kalau Ahok yang bicara, itu bisa dipercaya — setidaknya hingga detik aku menulis artikel ini, sangat bisa!
Luar biasa memang pemimpin nasionalis ini. Bagaimana ia memangkas anggaran siluman saja masih belum puas dibicarakan, sudah berulah lagi dia — lebih dasyat lagi! Dan itu semuanya dilakukan secara terbuka karena demi rakyat.
Kami di Papua akan bilang: Ahok, koe tra kosong! Koe tra habis-habis!
Sumber: Kompasiana